Selasa, 25 Agustus 2015

Zakat Fitrah untuk Bayi Dalam Kandungan

Zakat Fitrah untuk Bayi yang Belum Lahir

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam telah menjelaskan siapa-siapa yang berhak

mengeluarkan zakat fitrah atau dikeluarkan zakatnya. Diriwayatkan  dari Ibnu Umar

Radliyallahu 'Anhu, berkata:

فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – زَكَاةَ اَلْفِطْرِ, صَاعًا مِنْ تَمْرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ: عَلَى اَلْعَبْدِ وَالْحُرِّ, وَالذَّكَرِ,

وَالْأُنْثَى, وَالصَّغِيرِ, وَالْكَبِيرِ, مِنَ اَلْمُسْلِمِينَ, وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ اَلنَّاسِ إِلَى اَلصَّلَاةِ

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha' kurma atau satu sha' gandum, atas budak dan orang merdeka, laki-laki dan perempuan, anak kecil dan orang besar dari kalangan orang Islam. Dan beliau memerintahkan agar ditunaikan sebelum orang-orang pergi menunaikan shalat ('idul Fitri).” (Muttafaq Alaih)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mewajibkan zakat fitrah atas semua kaum muslimin; laki-laki dan perempuan, orang merdeka dan hamba sahaya, orang dewasa dan anak kecil. Masuk dalam makna anak kecil adalah anak yang sudah lahir (bayi).

Apabila bayi telah lahir sebelum tenggelamnya matahari di hari terakhir Ramadhan maka wajib dikeluarkan zakat fitrahnya. Tetapi jika saat matahari terbenam ia masih di kandungan (belum lahir) maka tidak wajib dikeluarkan zakat fitrahnya. Inilah pendapat yang rajih yang merupakan pendapat Madhab Hambali dan Syafi’i dan salah satu pendapat dari Madhab Maliki. Alasannya, apabila ia masih di perut ibunya saat datang waktu kewajiban zakat maka tidak wajib mengerluarkan zakat fitrahnya.

Ini didasarkan kepada hadits yang dikeluarkan Abu Dawud dan Ibnu Majah, Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhuma berkata:

فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ اَلْفِطْرِ; طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اَللَّغْوِ, وَالرَّفَثِ, وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ, فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ

اَلصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ, وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ اَلصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ اَلصَّدَقَاتِ

“Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perkataan yang tidak berguna dan buruk, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Maka barangsiapa yang mengeluarkannya sebelum shalat (Ied), ia menjadi zakat yang diterima dan barangsiapa mengeluarkannya setelah shalat, ia menjadi sedekah biasa.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Hakim).

Hadits ini menunjukkan bahwa zakat fitrah menjadi wajib dengan tenggelamnya matahari di hari terakhir dari bulan Ramadhan. Dikuatkan lagi dengan disandarkannya shodaqoh kepada al-Fitri (berbuka) yang mengharuskan ikhtishah (pengkhususan). Maksudnya: shodaqoh yang dikhususkan dengan berbuka atau zakat yang sebabnya adalah berbuka dari puasa Ramadhan. Dan awal berbuka itu terjadi dengan terbenamnya matahari di hari terkahir Ramadhan. Maka siapa yang saat tenggelam matahari di hari terakhir Ramadhan ia masih berada di perut ibunya maka bukan termasuk yang terkena kewajiban zakat fitrah. Ini pendapat yang kelihatannya paling tepat walaupun ada beberapa pendapat yang berbeda dengan ini.

Terlebih kalau bayi belum lahir saat terbit fajar (lahir sesudahnya) maka tidak wajib dikeluarkan zakat fitrahnya. Karena janin tidak berlaku hukum duniawi atasnya kecuali dalam warisan dan wasiat dengan syarat ia lahir dalam keadaan selamat.

Ibnul Mundzir telah menyebutkan ijma’ akan tidak wajibnya janin dikeluarkan zakat fitrahnya. Tetapi menurut sebagian ulama ada yang memandang baik jika dikeluarkan zakat fitrah atas nama janin berdasarkan amalan Utsman Radhiyallahu 'Anhu.

Diriwayatkan dari Abu Qilabah, ia berkata:

كَانَ يُعْجِبُهُمْ أَنْ يُعْطُوْا زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنِ الصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ حَتَّى عَنِ الْحَمْلِ فِيْ بَطْنِ أُمِّهِ

”Adalah menjadi perhatian mereka (para sahabat) untuk mengeluarkan/memberikan zakat fitrah dari anak kecil, dewasa, malah yang masih dalam kandungan (janin).”
(HR. Abdurrazaq dan Abu Bakar dalam Al-Syafi)

Mayoritas ulama mengatakan, tidak wajib membayarkan zakat fitrah untuk janin. ini adalah pendapat Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

Dalam Al-fatawa Al-Hindiyah – kumpulan fatwa madzhab hanafi – dinyatakan,

وَلَا يُؤَدِّي عَنْ الْجَنِينِ ؛ لِأَنَّهُ لَا يَعْرِفُ حَيَاتَهُ هَكَذَا فِي السِّرَاجِ الْوَهَّاجِ

“Tidak wajib ditunaikan zakat fitrah untuk janin, karena belum bisa dipastikan hidupnya. Demikian keterangan dalam buku Siraj Wahhaj.” (Fatawa Hindiyah, 5/166)

Hal yang sama juga disampaikan oleh Imam Malik. Dalam Al-Mudawwanah beliau menegaskan,

لا تؤدى الزكاة عن الحبل، وإن ولد له يوم الفطر أو ليلة الفطر فعليه فيه الزكاة

“Tidak wajib ditunaikan zakat fitrah untuk bayi yang ada dalam kandungan. Namun jika dia terlahir pada hari idul Fitri atau malam hari raya maka ayahnya berkewajiban membayarkan zakat untuk anaknya.” (Al-Mudawanah Al-Kubro, 1/388).

Lebih jauh, An-Nawawi – madzhab Syafii – menegaskan bahwa selama bayi itu belum terlahir sempurna pada saat matahari terbenam di hari puasa terakhir, tidak wajib ditunaikan zakat fitrah untuknya. Dalam Al-Majmu’ beliau mengatakan,

لا تجب فطرة الجنين لاعلي أبيه ولا في ماله بلا خلاف عندنا ولو خرج بعضه قبل غروب الشمس وبعضه بعد غروبها

ليلة الفطر لم تجب فطرته لانه في حكم الجنين ما لم يكمل خروجه منفصلا

“Tidak wajib zakat fitrah untuk janin, bukan kewajiban bapaknya, juga tidak perlu diambilkan dari harta si janin, tanpa ada perselisihan dalam madzhab Syafiiyah. Jika sebelum matahari terbenam badan bayi sudah keluar sebagian, sementara sebagian lagi baru keluar setelah matahari terbenam di malam idul fitri, maka tidak wajib dibayarkan zakat fitrahnya. Karena dia masih dihukumi janin, selama belum keluar utuh.” (Al-Majmu’, 6/139).

Maksud An-Nawawi:
Ada keterangan yang perlu kita ketahui untuk bisa memahami keterangan An-Nawawi di atas. Dalam madzhab syafiiyah, seseorang wajib dizakati fitrah jika dia menjumpai waktu fitri. Dalam arti, dia sudah ada di dunia ini atau dia masih hidup pada saat datang waktu fitri ini. Waktu fitri adalah waktu yang menjadi batas berakhirnya kewajiban puasa Ramadhan.

Kapan waktu Fitri itu? Menurut Syafiiyah, waktu Fitri itu adalah ketika matahari terbenam pada hari puasa terakhir. Bayi yang terlahir 5 menit sebelum matahari terbenam, berarti dia menjumpai waktu Fitri. Karena telah ada di dunia ketika waktu Fitri ini tiba. Orang yang meninggal 5 menit setelah matahari terbenam, termasuk menjumpai waktu fitri. Karena ketika waktu Fitri ini tiba, dia masih hidup.

Demikian keterangan mayoritas ulama yang menegaskan bahwa janin tidak wajib dibayarkan zakat fitrahnya. Yang perlu diberi garis tebal, kalimat tidak wajib bukan berarti tidak boleh atau dilarang.

Kemudian, ada juga ulama yang berpendapat bahwa zakat fitrah untuk janin hukumnya wajib. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat. Ibnu Qudamah menyebutkan,

وعن أحمد، رواية أخرى أنها تجب عليه؛ لأنه آدمي، تصح الوصية له، وبه ويرث فيدخل في عموم الأخبار، ويقاس على

المولود

Dari Imam Ahmad, dalam salah satu riwayat lainnya, bahwa zakat fitrah untuk janin hukumnya wajib. Karena janin termasuk manusia, boleh menerima wasiat, bisa menerima warisan. Sehingga dia masuk dalam keumuman hadis tentang zakat fitrah, dan juga diqiyaskan dengan bayi yang sudah lahir. (Al-Mughni, 3/99).

Keterangan ini sejatinya merupakan riwayat dari sebagian sahabat. Mereka berpendapat wajib menunaikan zakat fitrah, jika janin sudah berusia 4 bulan dalam

kandungan. Sebagaimana keterangan Ibnul Mulaqqin,

ونقل قوم عن السلف أنه إذا كمل الجنين في بطن أمه أربعة أشهر قبل الفجر وجب الإخراج عنه، وإنما خص الأربعة

أشهر بذلك للاعتماد على حديث ابن مسعود أن الخلق يجمع في بطن أمه أربعين يوما

“Terdapat keterangan dari sebagian sahabat, jika janin sudah genap usia 4 bulan dalam kandungan, sebelum subuh hari raya, maka wajib dibayarkan zakat fitrahnya.

Mereka menjadikan 4 bulan sebagai batas, bersandar dengan hadis Ibn Mas’ud bahwa penciptaan manusia dalam rahim ibunya selama 40 hari dalam bentuk nutfah… hingga ditiupkan ruh setelah berusia 120 hari.” (Al-I’lam bi Fawaid Umdatul Ahkam, 3/57).

Sementara itu, dalam riwayat lain, Imam Ahmad berpendapat, dianjurkan membayar zakat fitrah untuk janin. Beliau berdalil dengan praktek Khalifah Utsman bin Affan radliallahu ‘anhu, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat dari Qatadah,

أن عثمان كان يعطي صدقة الفطر عن الصغير والكبير والحمل

Bahwa Utsman radhiyallahu ‘anhu membayar zakat fitrah untuk anak-anak, orang dewasa, dan bayi yang masih di kandungan. (Masail Abdullah bin Ahmad hlm. 170).

Demikian juga riwayat dari Abu Qilabah, bahwa beliau mengatakan:

كَانُوا يُعْطُونَ صَدَقَةَ الْفِطْرِ حَتَّى يُعْطُونَ عَنِ الْحَبَلِ

Mereka (sebagian sahabat) membayar zakat fitrah, sampai mereka bayarkan zakat untuk janin. (HR. Ibn Abi syaibah 10738 & Abdur Razaq 5788)

Abdurazaq juga meriwayatkan bahwa Sulaiman bin Yasar pernah ditanya, apakah zakat fitrah juga ditunaikan untuk bayi yang ada dalam kandungan?. Jawab Beliau, "Ya". (Mushannaf Abdurrazaq no. 5790).

Kesimpulan yang lebih mendekati bahwa zakat fitrah untuk janin hukumnya tidak wajib. Hanya saja, jika ditunaikan, insya'Allah akan mendapat pahala, berdasarkan pendapat yang menganjurkan membayar zakat fitrah untuk janin.

Karenanya, jika ada seseorang yang tetap mengeluarkan zakat fitrah untuk anaknya yang lahirnya sesudah matahari akhir Ramadhan terbenam tidak perlu dipersoalkan.

Semoga itu menjadi tambahan kebaikan pahala untuk orang tuanya. Wallahu A’lam.

Sumber:
http://www.konsultasisyariah.com/hukum-zakat-fitrah-untuk-bayi-dalam-kandungan/
http://www.voa-islam.com/read/tsaqofah/2013/08/04/26160/rincian-hukum-zakat-fitrah-atas-bayi-baru-lahir/#sthash.xQ7mQIXc.S24Z1QOt.dpbs

Senin, 24 Agustus 2015

Sifat Wanita Muslimah yang Mendatangkan Rezeki Suami

9 Sifat Wanita Muslimah yang Mendatangkan Rezeki Untuk Suami

# 1. Wanita yang taat pada Allah dan rasul-Nya.

Ada empat faktor yang menjadi pertimbangan sebelum menikahi seorang wanita, yaitu karena (1) kecantikannya, (2) keturunannya, (3) hartanya dan (4) agamanya. Kita diperintahkan untuk memilih wanita karena faktor agamanya, beruntung sekali jika bisa mendapatkan keempatnya.

Wanita yang taat pada Allah dan Rasul-Nya akan membawa rumah tangga menuju surga, menuju ketentraman. Rumah tangga yang tentram, nyaman, bahagia adalah rezeki yang sangat berharga. Rumah tangga yang dinahkodai suami yang saleh didampingi istri yang salehah akan menjadikan rumah tangga itu berkah, menghasilkan anak-anak yang saleh / salehah, mendapatkan ridha dan rahmat Allah.

# 2. Wanita yang taat pada suaminya.

Jika aku boleh menyuruh seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku akan menyuruh seorang isteri untuk sujud kepada suaminya (H.R. Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Sepanjang perintah suami tidak bertentangan dengan agama, maka isteri wajib mentaatinya. Ketaatan seorang isteri pada suaminya akan membuat hati suami tenang dan damai dan bisa menjalankan kewajibannya mencari rezeki yang halal untuk keluarga. Akan halnya wanita yang berkarier di luar rumah bisa tetap bekerja sepanjang suaminya mengizinkan dan kewajibannya untuk menjaga diri dengan baik di tempat kerja.

“Laki-laki adalah pemimpin atas wanita karena Allah telah melebihkan sebagian dari mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan dengan sebab sesuatu yang telah mereka (laki-laki) nafkahkan dari harta-hartanya. Maka wanita-wanita yang saleh adalah yang taat lagi memelihara diri di belakang suaminya sebagaimana Allah telah memelihara dirinya”. (Q.S. An Nisa : 34).

# 3. Wanita yang melayani suaminya dengan baik.

Tugas utama isteri adalah menjalankan tugas rumah tangga dengan sebaik-baiknya, melayani suami dengan baik serta mendidik anak-anaknya. Isteri yang baik berusaha melayani suaminya dengan baik seperti menyiapkan makanannya, menyiapkan keperluannya, memenuhi kebutuhan biologisnya, menjaga perasaan suaminya jangan sampai suaminya terluka karena sikapnya. Wanita yang demikian akan menjadi kesayangan suaminya dan bisa menjadi partner yang baik dalam mewujudkan rumah tangga yang sakinah dan menarik hal-hal positif dalam rumah tangganya, termasuk rezeki bagi suaminya.

# 4. Wanita yang berhias hanya untuk suaminya.

“Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita salehah” (H.R. Muslim).

Adalah sifat wanita yang suka bersolek dan berhias, tapi wanita yang saleh hanya berhias dan menampakkan perhiasan untuk suaminya. Wanita yang jika dipandang suaminya selalu menyenangkan dan tahu bagaimana menyenangkan suaminya. Wanita yang bahkan malaikat pun mendo’akannya akan memudahkan rezeki datang padanya.

# 5. Jika ditinggal menjaga kehormatan dan harta suami

Saat suami keluar mencari nafkah, isteri yang ditinggalkan di rumah harus menjaga kehormatannya, menjaga dirinya dari tamu yang tidak pantas, membatasi keluar rumah jika tidak terlalu penting. Harta suami yang dititipkan padanya dipergunakan pada hal-hal yang bermanfaat dengan seizin suaminya. Wanita seperti ini memudahkan rezeki masuk ke dalam rumahnya sebagai upah dari ketaatannya kepada Allah dan kesetiaan pada suaminya.

# 6. Wanita yang senantiasa meminta ridha suami atasnya

Wanita ini tahu bagaimana menyenangkan hati suaminya. Menjaga sikap dan perilaku agar tidak menyinggung dan melukai perasaan suaminya. Dia selalu berusaha agar suaminya tidak marah padanya. Dia tidak akan pergi tidur dalam keadaan marah atau meninggalkan suaminya dalam keadaan marah sampai memperoleh maafnya. Mengajak suaminya bercanda untuk menceriakan perkawinannya. Berusaha mendidik anak-anaknya dengan baik. Menjaga rahasia perkawinan dari orang lain.

”Maukah kalian kuberitahu isteri-isteri yang menjadi penghuni surga yaitu isteri yang penuh kasih sayang, banyak anak, selalu kembali kepada suaminya, dimana jika suaminya marah dia mendatangi suaminya dan meletakkan tangannya pada tangan suaminya seraya berkata ” Aku tak dapat tidur sebelum engkau ridha” (H.R.An Nasai).

Isteri seperti ini adalah isteri yang dimudahkan rezekinya melalui tangan suaminya karena amalan dan kesetiaan pada suaminya,

# 7. Wanita yang menerima pemberian suami dengan ikhlas

Wanita yang tidak pernah mengeluh berapapun rezeki yang dibawa pulang suaminya. Selalu ikhlas menerima dan menghargai apapun yang diberikan suami kepadanya. Banyak disyukuri sedikit pun diterima dengan ikhlas. Wanita seperti ini adalah wanita yang mensyukuri rezekinya. Allah sudah menjanjikan bahwa jika kita bersyukur Dia akan menambah rezeki kita. Wanita yang bersyukur dan ikhlas rezekinya senantiasa bertambah baik kuantitas maupun keberkahannya yang akan diberi Allah langsung padanya ataupun melalui suaminya.

# 8. Wanita yang bisa menjadi partner meraih ridha Allah.

Wanita yang menjadikan rumah tangganya sebagai ibadah, pengabdiannya kepada Allah. Bisa menjadi teman diskusi yang berimbang bagi suami. Bisa melakukan koreksi dan menyampaikan dengan lembut kepada suaminya. Mendengarkan nasihat dan kata-kata suaminya dengan penuh perhatian. Sebelum melaksanakan ibadah sunnah seperti puasa sunnah meminta izin kepada suaminya dan tidak melaksanakan jika tidak diizinkan. Bisa menjadi pendorong dan motivator suami untuk meraih kesuksesan dunia dan akhirat. Itulah mengapa ada kalimat ” dibalik pria yang sukses ada wanita hebat di belakangnya”. Karena wanita seperti ini adalah rezeki utama suaminya.

# 9. Wanita yang tak pernah putus doa untuk suaminya.

Wanita yang bersyukur adalah wanita yang menerima semua kehendak /takdir Allah padanya tapi tetap berusaha melakukan yang terbaik termasuk dengan mendoakan suami dan anak-anaknya agar sukses dunia akhirat. Wanita ini tidak pernah putus do’a, tapi menjadikannya sebagai rutinitas harian, penghias bibir setelah shalat. Wanita ini tahu bahwa rezeki suaminya akan ditambah dan diberkahi jika dirinya senantiasa melibatkan Allah pada langkah suaminya melalui doa-doa yang dipanjatkannya setiap hari.

Dan betapa beruntungnya seorang laki-laki jika bisa mendapatkan isteri dengan ciri-ciri seperti di atas. Jika pun isteri ternyata belum memiliki ciri-ciri seperti di atas adalah tugas suami untuk mendidik isterinya, karena isteri adalah tanggung jawab suaminya dan dia akan ditanya di akhirat tentang hal itu. Wallahu alam.

Sumber:
https://plus.google.com/u/0/+AnjuAthiyahZainiAza/posts